Selesai beristirahat kami kembali berjalan kearah kanan
menyusuri jalan setapak yang cukup lebar, tak berapa lama teriakan pemandu
mengingatkan kami kalau Gua Liyah ada di kanan bawah jalan setapak. Saya sempat
ragu karena yang terlihat di kanan saya adalah semak belukar yang rimbun dan
sungai kecil, dimana mulut gua nya?
Mas Yos pemandu kami berjalan menerobos semak belukar
itu, kemudian dia lenyap di telan lebatnya belukar, saya dan beberapa teman
yang berada dibarisan depan segera mengejar kearah belukar dimana hilangnya
pemandu kami.
Ternyata dibalik rimbunnya belukar tadi adalah pintu
masuk Gua Liyah 2 yang tidak terlihat dari luar.
Mulut gua cukup sempit untuk dimasuki, kami seperti berbaris saat memasukinya.
Detak jantung kami berdetak cepat seketika ketika
memasuki mulut gua, ada mahluk berwarna
gelap melayang menabrak kami dengan tiba-tiba dari dalam gua, mahluk berbulu dengan rentang
sayapnya sekitar 60 cm.
Setelah kami amati dengan seksama, makluk tersebut
ternyata seekor burung hantu penghuni Gua Liyah, rupanya burung hantu itu sama
kagetnya dengan kehadiran kami.
Gua Liyah adalah Gua Horizontal dan Vertikal dengan
panjang lorong lebih dari 2 km menembus
bukit karst.
Masuk ke gua ini, tim Patrapala tidak membagi formasi
ekspedisi, kami masuk bersamaan dikarenakan 200 meter pertama dari mulut gua
adalah lorong besar dan cukup panjang.
Tidak
tercium aroma kotoran kelelawar dilorong
ini, rupanya sangat sedikit kelelawar yang tinggal disini.
Saya berinisiatif untuk berjalan paling depan.
Disepanjang lorong banyak sekali batuan (flowstone) yang bertebaran
di dinding gua, pantulan headlamp kami seolah diserap dan dibiaskan kembali
oleh batu-batu tersebut, nampak bercahaya jika disorot lampu, lantainya datar
dan lembab, hanya saja banyak sekali lubang-lubang bekas galian phospat yang
kedalamannya antara 1-4 meter, kami harus hati-hati melewatinya, salah-salah
kami bisa terperosok kedalamnya.
Terus menyusuri lorong ini, kami banyak menemukan
jejak-jejak kaki binatang yang kami perkirakan penghuni tetap gua, kewaspadaan
kembali kami tingkatkan untuk mencegah hal-hal yang tidak kami inginkan.
Jalan menikung ke kiri, kembali kami dihadapkan pada stage yang cukup sulit, patahan gua
menyerupai retakan harus kami lalui, kami berjalan berurutan, jalan sempit dan
berliku sempat membuat ciut dalam melangkah, dikarenakan banyak percabangan
yang menipu, saya berjalan berlahan sambil menunggu pemandu mengejar ke barisan depan.
Masih
memasuki lorong sempit dan penuh liku,
pemandu menghentikan langkah, kali ini lobang kecil dengan tinggi ± 30 cm menghadang
kami, merayap satu-satunya jalan untuk melewati jalan ini. Satu persatu kami
masuk kedalam, untunglah panjang lorong tidak lebih dari 2 meter, dan kami bisa
berdiri tegak kembali.
Lorong sempit ini memaksa kami harus antri memasukinya,
jumlah personel yang banyak dan tempat yang sempit membuat saya dan teman-teman
harus menunggu diujung, sementara oksigen semakin menipis dititik kami berdiri.
Saya putuskan untuk berjalan mendahului yang lain,
beberapa teman yang sudah melewati lorong saya ajak untuk menjauhi.
Waktu terus berjalan, semakin masuk kedalam bumi semakin
sulit medan yang kami lalui, tak
banyak ornament stalagtit dan stalagmite yang kami temui, dikarenakan memang
patahan ini jarang terdapat ornamentnya.
Langkah kami kembali terhenti oleh jurang 3 tingkat,
masing-masing tingkat bervariasi ketinggiannya, tingkat pertama 4 meter,
tingkat kedua 3 meter dan tingkat ketiga 2 meter.
Kami menggunakan webbing untuk menuruninya, satu persatu
kami merosot turun, telapak tangan terasa panas menggenggam webbing walaupun
kami memakai sarung tangan, tapi itu tidak menyurutkan nyali kami untuk
melanjutkan langkah, justru kami semakin termotifasi oleh medan gua ini.
Kami saling bahu membahu dalam menuruni jurang 3 tingkat
ini, terlihat jelas rasa keakraban dan rasa saling tolong menolong antar
anggota, sangat membanggakan.
Saya paling dahulu menginjakan kaki dilantai paling
bawah, dan sudah menjadi keharusan untuk memandu langkah teman-teman yang masih
bergelantungan diatas, kiri-kiri, injak batu yang paling kanan, teriak saya
berkali-kali, tak jarang saya harus menangkap tubuh teman-teman yang tergelincir
untuk mengurangi resiko cidera akibat licinnya dinding gua ini.
Hampir sebagian besar teman-teman sudah berada di lantai
bawah dan saya putuskan untuk melanjutkan langkah, diikuti beberapa teman, kami
berjalan semakin dalam ke perut bumi.
Asik berjalan sambil melihat sekeliling, langkah kami
terhenti oleh jurang yang sangat dalam, entah berapa meter kedalamannya, tapi
diperkirakan ada belasan meter. Kami berjalan memutari jurang untuk menuju
titik dimana kami harus menuruni jurang ini, saya sempat berkeliling melihat
keadaan dan inilah saatnya kami harus mengeluarkan peralatan SRT (single
roof technic) yang
kami bawa.
Sementara pemandu
menginstal peralatan untuk repling di tepi jurang, saya mengambil webbing untuk dibuat simpul body hardness ke badan, salah satu pemandu turun untuk mencoba kesempurnaan repling ini, diurutan ke tiga saya memastikan diri turun untuk membantu teman-teman dibawah sana, rasa kebas melihat diketinggian membuat adrenalin saya naik, sungguh menantang.
menginstal peralatan untuk repling di tepi jurang, saya mengambil webbing untuk dibuat simpul body hardness ke badan, salah satu pemandu turun untuk mencoba kesempurnaan repling ini, diurutan ke tiga saya memastikan diri turun untuk membantu teman-teman dibawah sana, rasa kebas melihat diketinggian membuat adrenalin saya naik, sungguh menantang.
Carabiner dikaitkan,
berlahan tapi pasti saya menuruni tebing jurang ini, kanan kiri terlihat gelap,
hanya dinding depan dan bawah yang terlihat dari sorot headlamp, tak sampai 1
menit kaki saya sudah menejejak didasar jurang, Alhamdulillah.
Carabiner saya
lepas dan mulai memberi komando untuk teman-teman diatas yang hendak turun, jumlah
personel yang banyak dan antri turun membuat waktu berputar cepat ditempat ini.
Waktu sudah menunjukan pukul 17.00 wib, sudah sore
rupannya, sebagian personel masih diatas tapi rasa bosan menunggu mulai mendera
dan saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Dengan membagi menjadi 2 kelompok, group pertama saya
ajak untuk melanjutkan perjalanan dan group kedua adalah teman-teman yang masih
“betah” diruangan sambil menunggu yang lain turun.
Saya pun berpamitan dengan pemandu disebelah.
Sambil melangkah, pandangan saya terpukau dengan luasnya
ruangan gua, sangat luas dan besar, mungkin 1 lapangan bola bisa muat disini,
sungguh luar biasa diperut bumi ada ruangan sebesar ini.
Berjalan menuruni luasnya ruangan yang berlumpur, kami
menuju cerukan yang ada tetesan air untuk mengisi botol plastik kami yang sudah
kosong, setelah terisi kami kembali melanjutkan perjalanan.
Ada persimpangan dilorong, arah kanan menuju air terjun
dan arah kiri menuju pintu keluar, kami sempat berembuk sebentar untuk
memutuskan, karena hari sudah menjelang magrib saya pun berkelakar “sudah sore sebentar lagi didalam sana gelap
tidak ada lampu penerangan” sambil menunjuk arah kanan (air terjun), dan
teman-teman pun terbahak.
Kami ambil keputusan untuk segera keluar dari perut bumi
ini.
Berjalan menyusuri lorong berlumpur, kaki tenggelam cukup
dalam, terasa berat kaki untuk melangkah, sering kami terpeleset akibat lumpur
basah ini, tapi tekat kami untuk segera menghirup udara luar memacu semangat
kami untuk terus bergerak.
30 menit dari persimpangan, terlihat cahaya sinar
didepan, saya pun berteriak “finish
teman-teman”, binar kegembiraan terpancar dari raut muka kami dan hampir
bersamaan kami mengucapkan Alhamdulillah.
Pintu keluar Gua Liyah ini sangat kecil, diameter sekitar
1 meter dengan teralis besi sebagai penutupnya, letaknya berada ditebing tinggi
desa Candirenggo menghadap ke barat, senja terlihat indah didepan kami, ladang
dan persawahan terlihat dikejauhan, sungguh mempesona.
Semak belukar menyambut keluarnya kami dari dalam perut
bumi.
Setelah istirahat dan menghirup udara luar beberapa saat,
kami memutuskan untuk segera turun, tidak ada tanda arah disini, kami sempat
kebingungan mencari arah jalan.
Maka saya putuskan ambil jalur kekanan kemudian menurun.
Matahari mulai redup, langkah kami percepat menuruni
bukit, sepatu yang penuh lumpur basah dan jalan yang lembab membuat licin
perjalanan turun ini, kami berjalan eksta hati-hati jika tidak mau terpeleset
jatuh, karena dikiri kami adalah tebing terjal yang dalam, didepan nampak pos
pantau air minum PDAM, kami berjalan melewati pinggiran pagarnya.
Lepas dari pos PDAM, kami berjalan menyusuri sungai kecil
menuju perkampungan dibawah, melintasi pemakanam umum membuat bulu kudu
berdiri, terkesan angker dengan banyaknya pohon besar dan hari yang menjelang
gelap.
Kami terus berlari kecil menuruni jalan ini.
Kumandang Adzan Magrib terdengar bersamaan dengan langkah
kami menginjakan kaki dipelataran parkir tempat home stay kami berada, segera
saya dan teman-teman membersihkan diri.
by Mamas Adhi
6 komentar:
cerita yang bagus, sukses untuk tim ekspedisi patrapala gua petruk & liyah, tapi kok nggak ada cerita horor nya di?
Cerita Horornya jangan di sertakan Pak, kasian yang belum pernah masuk gua nanti "minder".
permisi mau tanya gimana cara join di PATRAPALA, saya dari RU III mohon penjelasannya.
Terima Kasih
permisi mau tanya gimana cara join di PATRAPALA, saya dari RU III mohon penjelasannya.
Terima Kasih
Mas Muhammad, Jika RU III belum terbentuk chapter, silahkan gabung di Group FB Patrapala, kita kumpul di FB antar chapter.
Maaf mau tanya patrapala.. letak gua liyah 2 di sebelah mananya gua liyah 1 yah??
Posting Komentar