Senin, 04 Agustus 2014

Susur Gua Petruk & Liyah Part 2


Selesai beristirahat kami kembali berjalan kearah kanan menyusuri jalan setapak yang cukup lebar, tak berapa lama teriakan pemandu mengingatkan kami kalau Gua Liyah ada di kanan bawah jalan setapak. Saya sempat ragu karena yang terlihat di kanan saya adalah semak belukar yang rimbun dan sungai kecil, dimana mulut gua nya?

Mas Yos pemandu kami berjalan menerobos semak belukar itu, kemudian dia lenyap di telan lebatnya belukar, saya dan beberapa teman yang berada dibarisan depan segera mengejar kearah belukar dimana hilangnya pemandu kami.

Ternyata dibalik rimbunnya belukar tadi adalah pintu masuk Gua Liyah 2 yang tidak terlihat dari luar.

Mulut gua cukup sempit untuk dimasuki, kami seperti berbaris saat memasukinya.

Detak jantung kami berdetak cepat seketika ketika memasuki mulut gua, ada mahluk berwarna gelap melayang menabrak kami dengan tiba-tiba dari dalam gua, mahluk berbulu dengan rentang sayapnya sekitar 60 cm.

Setelah kami amati dengan seksama, makluk tersebut ternyata seekor burung hantu penghuni Gua Liyah, rupanya burung hantu itu sama kagetnya dengan kehadiran kami.


Gua Liyah adalah Gua Horizontal dan Vertikal dengan panjang lorong  lebih dari 2 km menembus bukit karst.

Masuk ke gua ini, tim Patrapala tidak membagi formasi ekspedisi, kami masuk bersamaan dikarenakan 200 meter pertama dari mulut gua adalah lorong besar dan cukup panjang.

Tidak tercium aroma kotoran kelelawar dilorong ini, rupanya sangat sedikit kelelawar yang tinggal disini.

Saya berinisiatif untuk berjalan paling depan.

Disepanjang lorong banyak sekali batuan (flowstone) yang bertebaran di dinding gua, pantulan headlamp kami seolah diserap dan dibiaskan kembali oleh batu-batu tersebut, nampak bercahaya jika disorot lampu, lantainya datar dan lembab, hanya saja banyak sekali lubang-lubang bekas galian phospat yang kedalamannya antara 1-4 meter, kami harus hati-hati melewatinya, salah-salah kami bisa terperosok kedalamnya.

Terus menyusuri lorong ini, kami banyak menemukan jejak-jejak kaki binatang yang kami perkirakan penghuni tetap gua, kewaspadaan kembali kami tingkatkan untuk mencegah hal-hal yang tidak kami inginkan.

Jalan menikung ke kiri, kembali kami dihadapkan pada stage yang cukup sulit, patahan gua menyerupai retakan harus kami lalui, kami berjalan berurutan, jalan sempit dan berliku sempat membuat ciut dalam melangkah, dikarenakan banyak percabangan yang menipu, saya berjalan berlahan sambil menunggu pemandu mengejar ke barisan depan.

Masih memasuki lorong sempit dan  penuh liku, pemandu menghentikan langkah, kali ini lobang kecil dengan tinggi ± 30 cm menghadang kami, merayap satu-satunya jalan untuk melewati jalan ini. Satu persatu kami masuk kedalam, untunglah panjang lorong tidak lebih dari 2 meter, dan kami bisa berdiri tegak kembali.


Lorong sempit ini memaksa kami harus antri memasukinya, jumlah personel yang banyak dan tempat yang sempit membuat saya dan teman-teman harus menunggu diujung, sementara oksigen semakin menipis dititik kami berdiri.



Saya putuskan untuk berjalan mendahului yang lain, beberapa teman yang sudah melewati lorong saya ajak untuk menjauhi.


Waktu terus berjalan, semakin masuk kedalam bumi semakin sulit medan yang kami lalui, tak banyak ornament stalagtit dan stalagmite yang kami temui, dikarenakan memang patahan ini jarang terdapat ornamentnya.

Langkah kami kembali terhenti oleh jurang 3 tingkat, masing-masing tingkat bervariasi ketinggiannya, tingkat pertama 4 meter, tingkat kedua 3 meter dan tingkat ketiga 2 meter.


Kami menggunakan webbing untuk menuruninya, satu persatu kami merosot turun, telapak tangan terasa panas menggenggam webbing walaupun kami memakai sarung tangan, tapi itu tidak menyurutkan nyali kami untuk melanjutkan langkah, justru kami semakin termotifasi oleh medan gua ini.

Kami saling bahu membahu dalam menuruni jurang 3 tingkat ini, terlihat jelas rasa keakraban dan rasa saling tolong menolong antar anggota, sangat membanggakan.

Saya paling dahulu menginjakan kaki dilantai paling bawah, dan sudah menjadi keharusan untuk memandu langkah teman-teman yang masih bergelantungan diatas, kiri-kiri, injak batu yang paling kanan, teriak saya berkali-kali, tak jarang saya harus menangkap tubuh teman-teman yang tergelincir untuk mengurangi resiko cidera akibat licinnya dinding gua ini.

Hampir sebagian besar teman-teman sudah berada di lantai bawah dan saya putuskan untuk melanjutkan langkah, diikuti beberapa teman, kami berjalan semakin dalam ke perut bumi.

Asik berjalan sambil melihat sekeliling, langkah kami terhenti oleh jurang yang sangat dalam, entah berapa meter kedalamannya, tapi diperkirakan ada belasan meter. Kami berjalan memutari jurang untuk menuju titik dimana kami harus menuruni jurang ini, saya sempat berkeliling melihat keadaan dan inilah saatnya kami harus mengeluarkan peralatan SRT (single roof technic) yang kami bawa.

Sementara pemandu
menginstal peralatan untuk repling di tepi jurang, saya mengambil webbing untuk dibuat simpul body hardness ke badan, salah satu pemandu turun untuk mencoba kesempurnaan repling ini, diurutan ke tiga saya memastikan diri turun untuk membantu teman-teman dibawah sana, rasa kebas melihat diketinggian membuat adrenalin saya naik, sungguh menantang.

Carabiner dikaitkan, berlahan tapi pasti saya menuruni tebing jurang ini, kanan kiri terlihat gelap, hanya dinding depan dan bawah yang terlihat dari sorot headlamp, tak sampai 1 menit kaki saya sudah menejejak didasar jurang, Alhamdulillah.

Carabiner saya lepas dan mulai memberi komando untuk teman-teman diatas yang hendak turun, jumlah personel yang banyak dan antri turun membuat waktu berputar cepat ditempat ini.

Waktu sudah menunjukan pukul 17.00 wib, sudah sore rupannya, sebagian personel masih diatas tapi rasa bosan menunggu mulai mendera dan saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Dengan membagi menjadi 2 kelompok, group pertama saya ajak untuk melanjutkan perjalanan dan group kedua adalah teman-teman yang masih “betah” diruangan sambil menunggu yang lain turun.

Saya pun berpamitan dengan pemandu disebelah.

Sambil melangkah, pandangan saya terpukau dengan luasnya ruangan gua, sangat luas dan besar, mungkin 1 lapangan bola bisa muat disini, sungguh luar biasa diperut bumi ada ruangan sebesar ini.

Berjalan menuruni luasnya ruangan yang berlumpur, kami menuju cerukan yang ada tetesan air untuk mengisi botol plastik kami yang sudah kosong, setelah terisi kami kembali melanjutkan perjalanan.

Ada persimpangan dilorong, arah kanan menuju air terjun dan arah kiri menuju pintu keluar, kami sempat berembuk sebentar untuk memutuskan, karena hari sudah menjelang magrib saya pun berkelakar “sudah sore sebentar lagi didalam sana gelap tidak ada lampu penerangan” sambil menunjuk arah kanan (air terjun), dan teman-teman pun terbahak.

Kami ambil keputusan untuk segera keluar dari perut bumi ini.

Berjalan menyusuri lorong berlumpur, kaki tenggelam cukup dalam, terasa berat kaki untuk melangkah, sering kami terpeleset akibat lumpur basah ini, tapi tekat kami untuk segera menghirup udara luar memacu semangat kami untuk terus bergerak.

30 menit dari persimpangan, terlihat cahaya sinar didepan, saya pun berteriak “finish teman-teman”, binar kegembiraan terpancar dari raut muka kami dan hampir bersamaan kami mengucapkan Alhamdulillah.

Pintu keluar Gua Liyah ini sangat kecil, diameter sekitar 1 meter dengan teralis besi sebagai penutupnya, letaknya berada ditebing tinggi desa Candirenggo menghadap ke barat, senja terlihat indah didepan kami, ladang dan persawahan terlihat dikejauhan, sungguh mempesona.

Semak belukar menyambut keluarnya kami dari dalam perut bumi.

Setelah istirahat dan menghirup udara luar beberapa saat, kami memutuskan untuk segera turun, tidak ada tanda arah disini, kami sempat kebingungan mencari arah jalan.

Maka saya putuskan ambil jalur kekanan kemudian menurun.

Matahari mulai redup, langkah kami percepat menuruni bukit, sepatu yang penuh lumpur basah dan jalan yang lembab membuat licin perjalanan turun ini, kami berjalan eksta hati-hati jika tidak mau terpeleset jatuh, karena dikiri kami adalah tebing terjal yang dalam, didepan nampak pos pantau air minum PDAM, kami berjalan melewati pinggiran pagarnya.

Lepas dari pos PDAM, kami berjalan menyusuri sungai kecil menuju perkampungan dibawah, melintasi pemakanam umum membuat bulu kudu berdiri, terkesan angker dengan banyaknya pohon besar dan hari yang menjelang gelap.

Kami terus berlari kecil menuruni jalan ini.

Kumandang Adzan Magrib terdengar bersamaan dengan langkah kami menginjakan kaki dipelataran parkir tempat home stay kami berada, segera saya dan teman-teman membersihkan diri.
by Mamas Adhi

Susur Gua Petruk & Liyah Part 1


Sabtu pagi , 17 Mei 2014 Hujan mengguyur kota Cilacap.

Tak mengurangi  semangat kami berkumpul di pelataran Pos Security GS untuk menuju Karst Gombong di sebelah Barat Kabupaten Kebumen, pembagian kendaraan sudah dipersiapkan untuk masing-masing orang.

Saya serta beberapa teman lebih memilih touring roda 2 dari pada ikut mini bus, karena memang niat dari awal adalah Touring dan Caving (2 hobi yang tersalurkan sekaligus).

Gerimis masih menyirami sepanjang jalan dari Cilacap menuju desa Candirenggo tempat dimana lokasi Gua Petruk dan Gua Liyah berada.

Sekitar pukul 10.00 waktu setempat kami  tiba di home stay Gua Petruk, letaknya diujung utara pintu masuk pelataran parkir Gua Petruk, tempat yang asri, nyaman dan tenang.


Setelah sarapan nasi leles (menu wajib Patrapala)  kami pun berkemas, segala persiapan di cek ulang, helm, headlamp, batray, wearpack, sepatu tahan air, webbing, carabiner, peralatan SRT serta bekal makan dan minum sudah kami perhitungkan (karena target caving kami hari ini adalah 2 Gua sekaligus) perjalanan diperkirakan sampai pukul 5 sore.
Pukul 11.00 kami bersiap dan menghitung anggota yang ikut ekspedisi, 21 orang jumlahnya, jumlah yang cukup banyak menurut pemandu (mas Yos) ditambah beberapa orang penggiat caving dari beberapa kota yang bergabung dengan kami.

Dari halaman Parkir sampai dengan mulut Gua Petruk, kami harus menaiki jalan setapak dengan anak tangga sepanjang 450 meter, cukup untuk pemanasan fisik dan membuat kami berkeringat, tapi suasana yang sejuk dengan pepohonan rindang disekeliling serta  adanya air terjun 3 meter dari anakkan sungai Gua Petruk dikiri jalan setapak cukup membuat kami terhibur untuk memulai mengeluarkan kamera masing-masing.


Gua Petruk.

Gua Petruk adalah Gua Horizontal dengan kedalaman lorong mencapai ± 750 meter dengan kombinasi air sungai bawah tanah. Nama Gua Petruk berasal dari batuan yang menyerupai kepala Petruk dengan hidung mancungnya, karena ulah tangan manusia pada waktu itu (penggalian phosfat) maka hidung Petruk patah dan kini tidak lagi menyerupai kepala Petruk, mulut guanya sangat lebar sekitar 35 meter.

Kami pun berfoto bersama dimulut Gua Petruk.

Memasuki mulut Gua Petruk, Tim Patrapala dibagi menjadi 3 kelompok dan kebetulan saya masuk dikelompok ke 3.

50 meter pertama dari mulut gua, yang kami temui adalah kemercik air sungai sedalam ± 10-20 cm dan batuan flowstone. Semakin kedalam semakin gelap dan kegelapan abadi menjadi teman kami saat ini ditambah bau kotoran kelelawar sempat membuat perut mual.

Ornament batu tirai menyambut dan kami pun saling berlomba mengabadikannya.

Tak jauh dari batu tirai ada tanjakan disebelah kiri jalan, saya dan beberapa rekan menapakinya untuk melihat lantai atas. Nampak disana batu besar berwarna putih Kristal dengan air yang membasahi permukaannya dari atas sampai bawah, Nampak berkilap diterangi headlamp yang kami kenakan.

Saya melihat 5 orang sedang berjongkok didepan batu ini, entah apa yang mereka lakukan, mungkin sedang memuja, berdoa atau apalah, hanya mereka yang tahu.

Melewati batu putih besar saya mengambil arah kanan, terlihat disana (maaf) batu  Vagina, jika diamati batu ini memang menyerupai bentuk alat vital perempuan yang konon jika menyentuhnya maka jika laki-laki maka akan mendapatkan jodoh, dan jika perempuan yang sudah bersuami maka akan mendapatkan keturunan, entahlah hanya mitos atau kepercayaan?

Kembali menyusuri lorong gelap ini, kami mulai menemukan batuan stalagtit dan stalagmit yang beraneka ragam bentuknya, ada batu semar, sendang katak, batu golek, batu otak, batu payudara, sendang drajat, batu harimau, batu anoa dan masih banyak lagi batuan yang tidak dapat kami sebut satu persatu.

Tak banyak yang berubah sejak pertama kali saya masuk ke gua ini 22 tahun lalu, hanya saja lapisan ornament pada dinding gua bagian atas semakin menghitam dikarenakan kontaminasi asap dari lampu pertomak yang digunakan pemandu komersil untuk menerangi para wisatawan, sungguh disayangkan, padahal mereka bisa mengunakan lampu yang lebih friendly tanpa harus merusak warna dari permukaan ornament stalagtit dan stalagmit di dalam gua.

Dipertengahan jalan kami dihadapkan pada lobang sempit menanjak, jika perkiraan saya tidak salah, lobang tersebut berdiameter ± 40-50 cm, cukup sempit untuk ukuran kami, apa lagi yang memiliki lingkar perut diatas rata-rata, karena itulah sebagian dari kami harus menahan nafas untuk dapat melewatinya.

Setelah melewati lobang tersebut kami di dihadapkan pada lorong yang cukup besar memanjang dan rata seperti aula, konon disini tempat orang-orang bersemedi.

Kami pun beristirahat sejenak sambil menunggu teman-teman yang masih tercecer dibelakang. Sambil menunggu, kami mematikan headlamp untuk merasakan bagaimana rasanya berada dikegelapan abadi, sungguh mengerikan jika dibayangkan dengan hilangnya salah satu indra yang sangat penting ini dan kami disadarkan kembali bahwa kami dianugrahi kesempurnaan indra oleh Tuhan YME.


Setelah semua berkumpul, kami pun melanjutkan perjalanan dengan melewati retakan menuju batu lonceng, batu yang menyerupi lonceng dengan air yang mengucur jernih, satu persatu kami melewati lorong sempit dengan lebar kurang dari 1 meter yang tergenang air dengan ketinggian ± 30 cm, hanya dengan merangkak kami dapat melewatinya, basahlah wearpack kami.


Semakin jauh kedalam kami kembali dipaksa membumi oleh patahan horizontal dengan ketinggian sekitar 50 cm, cukup membuat pakaian kami berlumpur.


Dari kejauhan nampak bias sinar mentari menerobos masuk melewati celah batu-batu besar, semburat itu membuat kami semakin berpacu dengan langkah untuk segera mendaki batuan besar menuju mulut gua.

Tidak mudah mendakinya karena batuan ini sangat licin, penuh lubang  dan tajam, penghuni gua seperti ular dan kelabang perlu kami waspadai keberadaanya.

Menjelang pintu keluar gua saya melihat beberapa teman sudah sampai duluan, mereka asik mengabadikan gaya mereka dimulut gua, ternyata pintu keluar gua ini juga merupakan pintu masuk Gua Jemblongan.

Sambil menunggu teman-teman naik kepermukaan, kami beristirahat sambil membuka bekal masing-masing, senda gurau dan candaan menambah rasa persaudaraan ini semakin erat, kami saling berbagi makanan dan minuman, sungguh nikmat makan siang bersama teman-teman Patrapala di mulut gua, dinaungi lebatnya daun-daun jati dan aroma kas batuan kapur sekitar gua.
 
Pegunungan Karst Gombong.

Pukul 13.00 jam tangan saya berbunyi satu kali, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Gua Liyah 2.



Jalan menuju ke Gua Liyah harus kami tempuh melewati hutan jati dan punggungan bukit kapur, tidak mudah untuk kami lewati, ketinggian bukit yang mencapai puluhan meter kami tempuh dengan berjalan kaki, tanah berlumpur, batuan padas, semak belukar dan akar pohon jati kerap membuat kami kerepotan dalam melangkah naik, sungguh perjuangan yang menguras tenaga, keringat pun terus bercucuran. Di sela-sela dedaunan, terik mentari menerobos masuk, mencoba membakar kulit kami yang terbungkus wearpack basah.

Ditengah perjalanan kami bertemu dengan perkampungan penduduk, tidak banyak jumlahnya tapi sempat membuat kami bertanya tanya, bagaimana cara mereka berinteraksi dengan dunia luar?

Sinyal UHF, handphone, aliran listrik pun terbatas, jarak dan lokasi mereka sulit terjangkau oleh kemajuan teknologi, sarana dan prasarana bahkan tidak mereka nikmati sampai saat ini.

Kami mencoba membaur di salah satu rumah warga, banyak pertanyaan dan rasa penasaran kami yang mereka jawab dengan gamblang, sungguh kemerdekaan yang terbatas, tapi mereka menikmatinya dengan kesederhanaan.

Jamuan air putih dan gula merah mereka hidangkan untuk menyambut kami.

Gula merah adalah sumber mata pencaharian utama warga di daerah karst Gombong (nderes).

Tidak lama kami kembali melanjutkan perjalanan melalui punggungan bukit kapur ini, beberapa teman ada yang salah jalan sehingga harus diarahkan untuk kembali kejalur oleh warga.

1 jam kami berjalan melewati hutan jati, akhirnya kami tiba di jalan setapak, sebagian jalan sudah disemen bahkan sempat ada mobil pickup yang melintas dijalur ini.

Sambil menunggu teman yang tertinggal kami habiskan waktu dengan istirahat sambil bersenda gurau.

bersambung part 2..