Selasa, 14 Juli 2009

GEDE PANGRANGO ...(3 HABIS)

Udara malam mulai dingin, tim yang tadinya di belakang kami sudah berkumpul. “pak, kita mendirikan tenda di sini saja, teman-teman sudah down kalau harus turun lagi ke Surya Kencana!” seru salah seorang pemandu yang baru tiba. “tidak bisa, tenda yang ada terbatas, karena yang lain di bawa tim yang terdepan! jawabku. Ada sedikit kebimbangan sebelum akhirnya kami memutuskan semua harus turun ke Surya Kencana. Setelah berjalan lebih dari 1 jam, akhirnya kami dapat bertemu kembali dengan tim yang terdepan. Beberapa tenda terlihat sudah berdiri sedikit agak tidak beraturan, saat itu jam 9.30 malam yang berarti kami telah berjalan lebih dari 12 jam! Namun, alhamdulillah, cuaca malam itu masih cerah walaupun tadinya sempat ada tanda-tanda akan turun hujan.
Tidur .... zzzzz ....... Dingin ..... brrrrrr...........
Pagi hari yang cerah, mulai terdengar celotehan teman-teman dan kesibukan seputar dapur. Beras dan Sarden yang kubawa, wortel dan brokoli yang kubeli di Cibodas; kumasak semua, lumayan mengurangi beban ransel. Di alun-alun Surya Kencana ini, air masih mudah diperoleh dan pemandangannya juga sangat indah, itu sebabnya menjadi tempat favorit untuk berkemah.
di tengah hamparan padang rumput dan pohon Edelweis di antara puncak Gede dan puncak Gumuruh membawaku pada pengembaraan hidup sadarkan ku akan waktu akan makna, yang bukan sekedar kata akan perwujudan, yang bukan sekedar harapan akan arti sebuah persahabatan, dan akan cinta yang kepadanya semua bermuara kepada NYA labuhan terakhir kita
Jam 9.30 pagi, ketika matahari semakin meninggi, kami mulai bergerak turun meninggalkan keindahahan padang rumput Surya Kencana. Terdengar suara anjing mengonggong dari kejauhan rimbunan pepohonan.
Jalur turun lewat gunung putri ini cukup curam, rimbun pepohonan terkesan sedikit lebih alami, lekuk akar pohon dan batang-batang pohon tua yang berlumut memberi sedikit kesan “angker”. Tersadar aku, ternyata syal warna pink ku sebagai simbol kelompok sudah tidak ada di pergelangan tanganku. Kucoba mengingat, membuka-buka kantong celanaku, tak ketemu. Wah .... bakal push up nih! ... ya ... di awal perjalanan ini, sebagai ketua tim saya menerapkan aturan syal kelompok tidak boleh hilang, jika hilang maka ... push up 20 kali. Ketika istirahat jam 12 siang, kulihat foto-foto di kamera ku. Di salah satu foto bidikanku terlihat, syal warna pink ku sedang tergeletak damai di jalan padang rumput Surya Kencana. ....yaaaaaaa. Satu..dua ... tiga ... empat.... ...... ....... sembilan bellllasss ... dua pulllluuuh! Teman-teman bersama-sama menghitung saya yang sedang push up! ha ...ha ...ha...
Jam 2 siang, kami semua semua sudah mencapai posko pendakian desa sukatani. Jam 3 sore turun ke cipanas menggunakan angkot. Makan siang terlebih dahulu di rumah makan ayam goreng cianjur, sebelum bis menjemput kami pulang ke Cilacap. Jam 2 dini hari tanggal 22 Juni 2009, kami sudah sampai kembali di Cilacap.
Pendakian ini, merupakan yang ke 5 setelah Gunung Slamet, Gunung Merapi, Gunung Lawu, Gunung Sindoro. Kali ini, pak ketua JBN Sutjahyo tidak bisa ikut, demikian juga sang pendaki tulen Dwi Yanto S.N (AO) yang anaknya sedang sakit, dan ....Aji Sanggabar Agung yang sekarang pindah tugas ke Makasar. Walau jauh, saya yakin dalam dada beliau semua masih melekat warna kuning kebanggaan dan identitas PATRAPALA!
Bravo dan kompak selalu!

GEDE PANGRANGO ..(2)










Target 2 jam mencapai puncak ternyata tidak mudah di capai…. track terasa semakin berat karena kekuatan fisik yang lelah. Jam 5.15 sore kami baru tiba lokasi Tanjakan Setan. Sesuai namanya tanjakan ini cukup menyeramkan, bukan karena ada setannya ... tapi karena kemiringannya yang sekitar 80o, cukup menakutkan tentunya terutama bagi yang memang takut ketinggian. Untungnya di track ini telah terpasang 2 tali pengaman, yang pertama tali sling baja namun kondisinya sudah agak rusak karena serabut bajanya telah banyak yang putus dan nyembul di permukaan sehingga dapat melukai telapak tangan ketika terpegang, dan yang kedua berupa tali nilon warna biru diameter se ibu jari tangan dengan simpul-simpul di beberapa tempat sehingga dapat dengan mudah di pegang.
Katanya sih, menariknya gunung Gede ini dibanding gunung yang lain ini ya karena adanya tanjakan setan ini… jadi dapat dikatakan belumlah lengkap ke puncak gunung Gede jika belum mencoba tanjakan setan ini…. wow ….? katanya jalur ke puncak tanpa melewati tanjakan setan juga ada, berupa track yang agak melingkar punggung bukit.
Sayangnya sinar matahari senja tepat di sisi belakang tanjakan setan ini, jika melihat tanjakan dari sisi atas ke bawah, sehingga kami mengalami kesulitan ketika mengabadikan pose anggota tim yang sedang unjuk kemampuan meniti celah-celah batu tebing tanjakan ini. Jam 05.30 sebagian besar anggota tim telah melewati tanjakan setan. Pendakian dilanjutkan di tengah semakin redupnya sinar matahari. “ Jam 6 dimanapun posisinya harus berhenti !” seru Mr Simbad alias Edi Jambrong. “ Ada apa sih Jul, kok harus berhenti?” tanyaku pada Juli. “Biasa terkait mistis lah pak, umumnya dianjurkan berhenti beraktifitas sejenak pada jam .. jam …12 siang dan jam 6 sore ya waktu maghrib lah” jawabnya. Oh …tentu maksudnya hal ini terkait kewajiban sholat, bukan menyangkut hal-hal yang mistis. Namun demikian, hukum tak tertulis itu akhirnya dijalankan juga, jam 6 malam tit kita semua berhenti sejenak beristirahat, walaupun …. tidak sholat, karena bisa di jamak nantinya.
Target jam 6 sore sampai puncak bagi kami jelas tidak kami capai, namun tidak demikian dengan Tim Patrapala yang terdepan, diantaranya Mahar, Suparno, Wahyu, Krisna, Eko, Aji Son, Agus Rah, Bella Jkt; mereka semua dapat menikmati indahnya sunset di puncak Gede.
Sinar Head lamp mulai membatasi jarak pandang kami, setapak-demi setapak punggung gunung didaki, dingin hembusan angin malam mulai terasa, jalanan batu-batu besar tajam kini telah berganti batu-batu kecil halus yang mudah lepas ketika diinjak, tinggi pepohonan hanya sebatas rengkuhan tangan, bau belerang sesekali terhirup, tiang-tiang warna hijau dilengkapi juntaian tali pengaman mulai terlihat membentang di sisi kiri……ya…apa yang sebelumnya hanya dapat kulihat di screen saver komputer kantor, kini telah dapat kupijak … kupegang … kurasakan hembusan udara dinginnya, gelap malamnya.
Deretan lampu head lamp rombongan Tim Patrapala tampak menarik di kegelapan malam puncak Gede. Kayak …… rombongan pencari kodok di sawah! ha…ha..ha…. “Hai…Patrapala….!” jelas kudengar suara Mahar dari kejauhan disertai sinyal kedipan lampu senter. Sepertinya sudah dekat, namun…setelah lebih 15 menit kami berjalan belum juga berjumpa dengannya bahkan ketika dipanggil-panggil …. tidak ada lagi sautan balasan seolah ia hilang tertelan bumi.
Sekitar jam 7.10 malam saya, Yuli, Dian, Ning, Yuliusman, Sutarman, dan Junian baru dapat mencapai puncak Gede. Lelah tak terkira tentunya, sambil menunggu teman-teman yang masih di belakang kunikmati indahnya gemerlap bintang-bintang yang bertaburan di angkasa. Di belakang kami kawah gunung Gede yang tidak terlihat karena gelap, hanya bau belerangnya saja yang sesekali terasa, di depan terbentang puncak gunung Gumuruh di sisi bawahnya dikejauhan tampak kumpulan cahaya lampu yang menandakan camping ground ….. alun alun Surya Kencana.

GEDE PANGRANGO..(1)



Tepat pukul 17.00 WIB ketika saya bergegas menuju pos security komperta Gunung Simping. Bis belum terlihat, beberapa anggota tim Patrapala tampak telah berkumpul, berbincang, dan berbenah. Tidak terlalu lama, ketika petang menjelang, Bis mulai bergerak menuju Cibodas.
Jam 3 pagi dini hari waktu Cibodas, Bis telah tiba di pelataran parkir yang cukup luas. Beberapa mobil terlihat parkir berjajar di sisi kiri dan depan. Udara luar terasa dingin menghembus ketika pintu bis di buka. Sopir mulai merebahkan badan di balik kemudinya. Beberapa dari kami memilih beranjak dari tempat duduknya untuk melepas penat di luar, namun yang lainnya terlihat lebih memilih melanjutkan tidur di dalam bis.
Gemericik air di keheningan pagi, terasa dingin di telapak tangan. Setelah sholat subuh, kami mulai melakukan persiapan pendakian. Rangsel, tenda, dan perbekalan makanan mulai dibagikan, termasuk pembagian kelompok – tim orange, hijau, biru, pink, ungu, masing-masing 5 orang, dan tim kuning 6 orang yang bertindak sebagai pemandu. Jam 8 pagi semua persiapan telah selesai dan tim mulai bergerak menuju posko pendakian, namun ada sedikit kendala terkait perijinan yang menyebabkan pendakian agak tertunda hingga jam 9 pagi. Dibanding yang lain, Taman Nasional Gede Pangrango ini memang cukup ketat dalam memberikan ijin pendakian. Setiap pendaki harus melampirkan foto copy KTP, tidak boleh membawa sabun, odol, atau pisau karena dikhawatirkan dapat merusak lingkungan, termasuk wajib bagi pendaki untuk membawa kembali sampah-sampah plastik dan bungkus makanan yang dibawanya. Dari informasi petugas, pada saat itu tanggal 20-21 juni 2009 tercatat lebih dari 600 orang yang mendaki puncak Gede dari 3 pos berbeda yaitu Cibodas, Gunung Putri, dan Sela Bintana (Sukabumi).
Dari Pos Cibodas (+1250 mdpl) track diawali dengan anak-anak tangga berbatu yang tersusun rapi, yang di kanan dan kirinya terlihat pohon-pohon yang agak tinggi. Setelah berjalan kira-kira 45 menit, kami sudah mencapai lokasi Telaga Biru (+ 1576 mdpl) yang airnya tenang, bening, dan warnanya agak kehijauan, tidak terlalu luas berada di sebelah kiri jalur pendakian.
Track berikutnya jembatan kayu yang membentang cukup panjang, lebarnya sekitar 3 meter, dengan latar belakang puncak gunung Pangrango, seolah membuka jalan kita menuju ke puncak. Tempat yang cukup romantis lah…! Sebagian lantai kayu jembatannya ada yang sudah lapuk, jadi perlu hati-hati juga ketika melangkah. … Any way it is recommended place for you all…
Setelah berjalan kira-kira 45 menit kami sudah mencapai Pos Panyangcangan (+ 1750 mdpl), kesempatan untuk berhenti sejenak. Di depan terlihat jalur yang menurun ke kanan menuju lokasi air terjun cibeurum, sedangkan jalur yang agak naik ke kiri menuju puncak Gede-Pangrango.
Lokasi air terjun Cibeurum tidak terlalu jauh dari pos panyangcangan. Di tempat ini terdapat 2 aliran air terjun, yang besar di sebelah kiri di sebut air terjun cibeuruem, ukurannya masih lebih kecil jika dibandingkan dengan air terjun Cipendok - Bumiayu tapi lebih besar jika dibandingkan curug Mandala - Jeruk legi, sedangkan yang sebelah kanan air terjunnya lebih kecil. Lingkungan di sekitar air terjun ini terkesan lapang dan agak luas. Saat itu terlihat banyak pengunjung terutama anak-anak muda. Kira-kira ½ jam kami menghabiskan waktu di obyek wisata yang alami dan indah ini.
Hingga pos Panyangcangan itu, track pendakian terasa masih tidak terlalu berat, namun selepas pos panyangcangan itu jalur mulai terus menanjak dan terasa panjang, sesekali sih ada juga bonusnya yaitu jalan yang datar atau sedikit agak menurun.
Perjalanan telah ditempuh selama hampir 3 jam sejak dari pos panyangcangan tadi, kelelahan mulai terasa dan entah berapa kali harus berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas dan menunggu yang masih di belakang. Sekitar jam 13.45 kami telah sampai di lokasi Air Panas. Track yang menarik dan dapat sedikit mengurangi kejenuhan, berupa tanjakan berbatu yang dialiri air panas deras di sisi kiri serta pegangan tali dan jurang di sisi kanannya. Airnya memang terasa terlalu panas ketika disentuh jari tangan. Harus ekstra hati-hati ketika meniti batu-batu di antara aliran air panas ini jika tidak ingin terpeleset atau malah jatuh ke jurang. Apalagi bagi yang ber kaca mata, karena uap air di sekeliling nya menempel di kaca dan menutupi pandangan. Pegangan tali yang kuat cukup membantu menjaga keseimbangan badan agar tidak mudah terpeleset.
Tak terlalu jauh dari lokasi air panas tadi, tibalah kami di Pos Kandang Batu (+ 2.100 mdpl) yang disambut anak sungai yang airnya cukup deras dan suhunya agak hangat. 2 orang pendaki lain terlihat mandi dengan senangnya di antara bebatuan. Kesempatan ini juga tidak kulewatkan untuk sekedar membuka sepatu dan merendam kaki yang mulai terasa agak pegel sekaligus memijatkan telapak kaki pada batu-batu dasar sungai, wow…. enaknya! Membayangkan kalau nge camp di tempat ini pasti menyenangkan, bisa mandi kapan saja, tengah malam sekalipun, karena airnya cukup hangat friend! Lokasinya terasa agak sempit kira-kira hanya cukup untuk mendirikan 2-3 tenda saja.
Kira-kira 1 ½ jam perjalanan dari Kandang Batu itu, kami tiba di Pos Kandang Badak (+2.400 mdpl) tapi tak usah takut karena tidak terlihat badak yang berkeliaran … mungkin lebih tepat di sebut Kandang Pendaki kali ya..! ..karena yang terlihat justru beberapa tenda pendaki yang berdiri di antara rimbunnya pepohonan. Uniknya di tempat ini ada pedagang nasi uduk dan nasi kuning keliling yang menjajakan dagangannya terutama kepada pendaki-pendaki yang baru datang, harga sebungkus kecil Rp. 5000,-. Di tempat ini kami beristirahat cukup lama, mengingat sebagian anggota tim telah kelelahan serta memberi kesempatan untuk sholat dan mengisi persediaan air. Sempat muncul wacana untuk mendirikan tenda di pos ini saja daripada rencana semula di alun-alun Surya Kencana, namun akhirnya diputusnya juga perjalanan menuju puncak dilanjutkan. Jam 4 sore tim Patrapala kembali melangkah menyusuri jalan ke kiri menuju puncak Gede, kalau jalur yang ke kanan menuju puncak Pangrango. Normalnya puncak Gede dapat dicapai dari kandang badak dalam waktu 2 jam saja, yang berarti perkiraan sampai ke puncak sekitar jam 6 sore. Namun ……