Jumat, 09 April 2010

PATRAPALA EKSPEDISI GN.CIREMAI 2-4 APRIL 2010

Tanggal 2-4 April 2010 kemarin Patrapala telah melakukan pendakian ke puncak Gn Ciremai +3078 mdpl di kabupaten Kuningan. Walaupun rencana pendakian ini sudah diumumkan sejak sebulan lalu lewat jalur FB, namun persiapan pendakian ini terbilang agak mendadak, karena 2 minggu sebelum nya, Patrapala juga melaksanakan Cilacap Cross Country di daerah Majenang.

Isu penting yang menjadi pertimbang dalam rencana pendakian ini adalah masalah kelangkaan air dan jalur pendakian. Tim harus membawa lebih banyak air dari sejak awal pendakian. Patrapala memilih jalur Palutungan sebagai start pendakian karena jalur ini adalah rute yang paling umum dilalui dan aman, sedangkan rute pulang memilih jalur Linggar Jati. Isu lain yang menjadi perhatian juga adalah seram nya cerita-cerita seputar Gn Ciremai. Dibanding Gn Slamet memang Gn Ciremai suasana mistisnya terasa lebih kental, kata seorang teman.

Tim Patrapala yang berjumlah 20 orang berangkat dari Cilacap ke Kuningan hari Jumát sekitar jam 10 pagi, sedangkan saya berangkat nya dari Terminal Lebak Bulus jam 06.30, karena hari kamis nya masih dinas di Jakarta. Saya telah tiba lebih dulu di terminal Cirendang – Kuningan sekitar jam 13.30, sedangkan Tim yang dari Cilacap baru tiba jam 16.00.

Dari pertigaan Cirendang jalan menanjak menuju desa Cigugur dimana terdapat pos pendakian Palutungan. Waktu telah semakin senja, angin dingin berhembus agak kencang, Tim memulai persiapan. Selepas maghrib, Tim mulai bergerak. Track tanah liat yang agak licin, menyusuri peladangan dan mengitari perbukitan.

Perjalanan telah lebih dari 2 jam ketika Tim tiba di pos Cigowong dan bermalam. Nasi hangat dan pepes ikan peda terasa begitu nikmat. Cuaca masih cerah saat itu, bintang-bintang terlihat gemerlap, dan udara tidaklah terlalu dingin, namun karena letih akibat perjalanan yang panjang, maka lebih nyaman membenamkan diri saja dalam tenda.

Hujan cukup deras terdengar di tengah malam, angin berhembus kencang menggoyang-goyang pucuk ranting-ranting pepohonan, menimbulkan suara gemerisik yang seolah hujan tak juga kunjung reda.
Sabtu pagi hari, kesibukan mulai terdengar, persiapan pendakianpun telah dimulai. Di pos Cigowong ini, air masih tersedia, mengalir dari sungai kecil. Jam 8 pagi Tim memulai pendakian ke puncak Ciremai. Jalur yang dilalui berupa tanah liat yang sedikit berpasir, akar-akar pohonan tak beraturan melintang jalur. Daun-daun ilalang yang tinggi-tinggi agak menutupi jalan, terasa tajam menggores siku tangan.

Di sepanjang jalan, pohonnya besar dan tinggi. di sudut bawahnya kadang terlihat beberapa botol aqua yang berisi air berwarna kecoklatan, itu air seni! Memang terlihat jorok jadinya, namun hal ini karena adanya cerita-cerita seram yang berkembang ketika pendaki kencing sembarangan. Namun demikian, Tim tidak melakukan hal yang sama, cukup berdoa sebelum buang hajat dan alhamdulillah tidak terjadi apa-apa.

Setelah penjalanan hampir 8 jam vegetasi puncak mulai terlihat, pohon edelwies bergoyang-goyang tertiup angin yang cukup kencang. Jalanan mulai berbatu, Di kejauhan terlihat hamparan perbukitan dan pemandangan kota Kuningan dan sekitarnya. Tak lama sekitar jam 16.00, akhirnya Tim tiba di pos Goa Walet pada ketinggian 2.925 mdpl. Suatu cekungan yang agak luas yang terdapat gua dengan diameter cukup besar di sudut timur nya. Lokasi ini sangat aman untuk mendirikan tenda karena cukup terlindung dari kemungkinan hembusan angin atau badai secara langsung.

Di pos Gua Walet ini, yang ada hanya tetesan air yang jatuh dari atas batu gua. Semakin malam rombongan pendaki lainnya terdengar berdatangan dan sibuk mendirikan tenda di ruang-ruang yang masih tersisa, sebagiannya lagi sibuk memasak perbekalan masing-masing. Udara malam cukup dingin saat itu, langit bertabur bintang dan bulan agak terang.

Jam 4 pagi Tim mulai berkemas. Pendakian ke puncak dilanjutkan untuk bisa menikmati sunrise. Dalam keremangan cahaya subuh, Pantai utara Jawa, jalur Pantura, menara PLTU Cirebon, dan gunung Slamet terlihat indah dikejauhan. Sekitar jam 6 pagi satu persatu anggota Tim Patrapala berhasil mencapai Puncak Gn. Ciremai diketinggian +3078 mdpl. Alhamdulillah!

Bibir puncak Ciremai tidaklah terlalu lebar, tidak lebih dari 1 meter, sehingga perlu kehati-hatian ketika menaikinya supaya tidak terpeleset ke dalam lubang kawah, namun demikian ada juga sisi lainnya yang agak lebar. Latar belakang gunung Slamet, bahkan gunung sindoro-sumbing, terlihat di sisi timur; sedangkan di sisi selatannya terlihat pegunungan Galunggung dan sekitarnya. Subhanallah indah sekali!















Jalur Linggar jati.
Sesuai rencana Tim Patrapala turun lewat jalur Linggar Jati, untuk mencapai jalur turun ini, terlebih dahulu harus menyusuri bibir kawah dari sisi selatan ke sisi timur gunung. Jalur Linggar Jati ini ternyata sangat terjal, track berupa tanah yang berpasir dan akar-akar pohon di sana sini dengan kemiringan lebih dari 45o. Sungguh kondisi yang cukup ekstrim dan di luar perkiraan. Jalur panjang yang seolah tak berujung, membuat agak frustasi juga. Menurut saya, kurang recommended untuk pendaki pemula. Beban rangsel dan tenda di punggung rasanya semakin berat saja padahal bekal air makanan sedikit demi sedikit telah berkurang. Hampir setiap ½ jam berhenti sejenak untuk istirahat.

Tim terpisah menjadi 3 bagian yang agak berjauhan; saya bertiga berada di tengah, sebagian besar masih di belakang. Saya baru bisa mencapai pos Linggar Jati jam 5 Sore dari rencana jam 2 siang!

Waktu telah menjelang maghrib, namun Tim yang masih di belakang yang berjumlah 13 orang belum juga tiba, kekhawatiran bertambah karena tiba-tiba hujan turun dengan derasnya yang disertai suara gemuruh kilat menyambar. Upaya bantuan pun dikirimkan, yang dari informasi penduduk, mereka telah berada di sekitar hutan pinus.

Alhamdulillah sekitar jam 19.00 semua rombongan yang terakhir telah tiba dengan selamat di pos Linggar Jati dalam kondisi kehujanan. 12 jam perjalanan sejak dari puncak! Banyak cerita terungkap, dari yang lutut kakinya bengkak karena terkilir, yang muntah karena kelelahan, yang sempat mendengar ‘suara-suara perempuan yang sedang bercakap-cakap’ dari dalam gubuk kosong di tengah hutan … hiii …, yang kesal karena merasa ditinggalkan. Ya inilah dinamika pecinta alam, ada senang, ada susah, ada pertengkaran, ada persahabatan, masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. suatu proses untuk pendewasaan. Menyatu dengan alam berarti membentuk harmoni, mencoba memahami lingkungan, memahami orang lain, dan memahami diri sendiri; dan ketika semua itu terangkai dalam kedamaian, alangkah indahnya..
Bravo patrapala .. nggak kapok kan ? Ok, go to next journey!