Tim Patrapala Caving Gua Petruk, yang berjumlah 23 orang, telah menjelajahi lorong-lorong gua Petruk di perbukitan Karst Kebumen hari sabtu tanggal 25 Oktober 2008 kemarin. Bagi yang baru pertama kali melakukan jelajah gua, termasuk saya, tentu hal ini merupakan pengalaman yang menegangkan dan ternyata sekaligus mengasyikkan. Kekhawatiran yang semula muncul, misalnya bagaimana jika tersesat, atau terperangkap dalam genangan air, ada gempa terus batu-batu atap gua runtuh dll; Alhamdulillah semuanya itu tidak terjadi. Begitu melangkah masuk ke mulut gua dan semakin ke masuk ke dalam melewati celah celah batu yang sempit, merangkak melewati genangan air dan celah batu-batu stalagtit-stalagmit; kekhawatiran yang semula ada menjadi sirna oleh kepasrahan, .... kalaupun terjadi... ya terjadilah.
Menerobos sungai bawah tanah
“ Untuk bisa nembus Gua, nanti harus merayap sekitar 10 meter dicelah aliran air yang sempit. Kalau musim hujan gini biasanya airnya agak tinggi, kalau masih memungkinkan kita masuk tapi jika nggak mungkin, ya kita kembali saja” demikian pemandu memberikan sarannya di awal perjalanan. Sekitar jam 10.50 pagi Tim Patrapala mengawali langkah menelusuri lorong-lorong gua yang basah, gelap, dan agak pengap. Tahi kelelawar menumpuk di dasar lantai gua, lembut ketika terinjak, baunya sedikit agak menyengat. Lampu petromak, menerangi sudut-sudut gua yang semakin masuk ke dalam mulai tampak keindahannya. Bau itu sudah tak tercium lagi berganti aroma sejuk air bawah tanah. Pemandu menjelaskan batu gua yang bentuknya mirip tempat tidur (amben). “dulu ada suami-istri yang mencari belut kemudian tidur-tiduran di amben itu, terus tiba-tiba menghilang, nggak ketemu lagi” katanya.
Batu Stalagtit dan Stalagmit yang terbentuk melalui proses yang bertahun-tahun beberapa mirip mahkota, serigala putih, gerombolan gajah, harimau kumbang, ayam kisar, semar .... dan bahkan ... payudara (maaf agak porno, tapi pemandunya juga menyebutnya itu lho!)
Jalur mulai menyempit dan pendek, pemandu berkali-kali mengingatkan, awas kepala... awas kepala... sayang batunya nanti gompel...ha..ha..., untunglah saya pakai helm Pertamina, masih aman walau berkali-kali kepala ini terantuk ujung stalagtit yang tajam-tajam.
Terpaksa Balik
Leo (putra pak Sutjahjo Fasum) yang berbadan subur terpaksa harus balik karena tidak dapat merangkak melewati celah sempit. Celah mendatar sejauh sekitar 10 meter dengan ketinggian air selutut, hanya dapat dilalui dengan cara jongkok dan sebagian harus dengan merayap bagai komodo.
Di depan telah nampak lubang sempit hanya selebar badan yang letaknya setinggi dada, suara teman-teman dari balik lubang itu, menyambut kedatangan saya. Tanpa sadar, karena terlalu bersemangat, saya kehilangan keseimbangan dan tercebur ke dalam kolam (sendang derajat) yang air nya setinggi paha, segera saja saya berdiri kembali dan mengeluarkan kamera serta dompet yang telah basah dari saku celana, dibantu Edi Jambrong, baterai dan memori card dilepas dan dimasukkan dalam rangsel saya. Sedih tentu saja, saya tidak bisa mengambil gambar lagi, dan kamera ku ... oh... baru beli lagi !.....hik3X ........Nggak apa-apa pak Anis, muga-muga munggah derajate! (karena tercebur di Sendang Derajat maksudnya) canda Dadek, yang ku sambut tawa!
Selepas dari lubang sempit itu, Tim memasuki lorong yang agak luas memanjang; biasanya pak, mereka yang berangkat sendiri tanpa pemandu tersesat di sini, kalau kita masuk lorong yang di sebelah kanan itu, nanti tidak akan ketemu-ketemu jalan keluar; nah kita sekarang ke arah kiri saja sebentar lagi sampai di mulut gua, demikian ujar pemandu saat itu.
Pilih Tracking Ke Bukit-Bukit Karst
Jam 12 lebih siang hari, semua anggota Tim sudah keluar dari mulut gua dan masing-masing larut dalam cerita yang baru saja dialami, sebelum memilih rute berikutnya, apakah kembali (balik) menelusuri lorong gua tadi, ataukah berputar mengelilingi bukit karst. Beberapa orang memilih balik, demikian juga pemandu menyarankan, namun karena yang milih mengelilingi punggung bukit karst lebih banyak, akhirnya semua anggota Tim Patrapala sepakat mencoba naik turun bukit kapur itu. Kayak di Gunung Sindoro ya..... ketika melewati batu-batu terjal dan rumput ilalang. Ketika melihat puncak-puncak bukit karst di sekitar itu, yang lain bilang .... kayak di Gunung Lawu ya!...... pokok nya asyik lah! ha..ha..ha..
Sekitar jam 3 sore, Tim Patrapala telah sampai kembali di mulut Gua Petruk. Langkah kaki menuruni ratusan anak-anak tangga, dinding bukit yang terjal di sisi kanan dan kiri serta pepohonan yang rindang, kadang juga terlihat monyet-monyet bergelantungan; mengantar kami kembali ke Cilacap.
Penampakan?
Sampai di rumah, kamera saya keringkan seharian; alhamdulillah ternyata masih bisa di selamatkan. .... bagus banget lho! ....., hi... jijik.... ketika ia melihat deretan batu-batu berbentuk bulat-bulat, .... hi.. ini kan kayak hantu, ini kan matanya... ini kan mulutnya... hi serem!, itulah beberapa komentar anak saya ketika melihat beberapa foto hasil jepretan saya ... ha...ha...ha!
Tanggal 15-16 Nopember 2008 mendatang, dalam rangka memeriahkan HUT Pertamina dan HUT Patrapala ke I, Tim Patrapala akan mendaki Gunung Sindoro di Wonosobo. Pendakian ini untuk persiapan dan pemanasan sebelum menelusuri puncak Gunung Semeru di Jawa Timur di penghujung tahun ini.
Salam Patrapala
http://www.patrapala.blogspot.com/
Menerobos sungai bawah tanah
“ Untuk bisa nembus Gua, nanti harus merayap sekitar 10 meter dicelah aliran air yang sempit. Kalau musim hujan gini biasanya airnya agak tinggi, kalau masih memungkinkan kita masuk tapi jika nggak mungkin, ya kita kembali saja” demikian pemandu memberikan sarannya di awal perjalanan. Sekitar jam 10.50 pagi Tim Patrapala mengawali langkah menelusuri lorong-lorong gua yang basah, gelap, dan agak pengap. Tahi kelelawar menumpuk di dasar lantai gua, lembut ketika terinjak, baunya sedikit agak menyengat. Lampu petromak, menerangi sudut-sudut gua yang semakin masuk ke dalam mulai tampak keindahannya. Bau itu sudah tak tercium lagi berganti aroma sejuk air bawah tanah. Pemandu menjelaskan batu gua yang bentuknya mirip tempat tidur (amben). “dulu ada suami-istri yang mencari belut kemudian tidur-tiduran di amben itu, terus tiba-tiba menghilang, nggak ketemu lagi” katanya.
Batu Stalagtit dan Stalagmit yang terbentuk melalui proses yang bertahun-tahun beberapa mirip mahkota, serigala putih, gerombolan gajah, harimau kumbang, ayam kisar, semar .... dan bahkan ... payudara (maaf agak porno, tapi pemandunya juga menyebutnya itu lho!)
Jalur mulai menyempit dan pendek, pemandu berkali-kali mengingatkan, awas kepala... awas kepala... sayang batunya nanti gompel...ha..ha..., untunglah saya pakai helm Pertamina, masih aman walau berkali-kali kepala ini terantuk ujung stalagtit yang tajam-tajam.
Terpaksa Balik
Leo (putra pak Sutjahjo Fasum) yang berbadan subur terpaksa harus balik karena tidak dapat merangkak melewati celah sempit. Celah mendatar sejauh sekitar 10 meter dengan ketinggian air selutut, hanya dapat dilalui dengan cara jongkok dan sebagian harus dengan merayap bagai komodo.
Di depan telah nampak lubang sempit hanya selebar badan yang letaknya setinggi dada, suara teman-teman dari balik lubang itu, menyambut kedatangan saya. Tanpa sadar, karena terlalu bersemangat, saya kehilangan keseimbangan dan tercebur ke dalam kolam (sendang derajat) yang air nya setinggi paha, segera saja saya berdiri kembali dan mengeluarkan kamera serta dompet yang telah basah dari saku celana, dibantu Edi Jambrong, baterai dan memori card dilepas dan dimasukkan dalam rangsel saya. Sedih tentu saja, saya tidak bisa mengambil gambar lagi, dan kamera ku ... oh... baru beli lagi !.....hik3X ........Nggak apa-apa pak Anis, muga-muga munggah derajate! (karena tercebur di Sendang Derajat maksudnya) canda Dadek, yang ku sambut tawa!
Selepas dari lubang sempit itu, Tim memasuki lorong yang agak luas memanjang; biasanya pak, mereka yang berangkat sendiri tanpa pemandu tersesat di sini, kalau kita masuk lorong yang di sebelah kanan itu, nanti tidak akan ketemu-ketemu jalan keluar; nah kita sekarang ke arah kiri saja sebentar lagi sampai di mulut gua, demikian ujar pemandu saat itu.
Pilih Tracking Ke Bukit-Bukit Karst
Jam 12 lebih siang hari, semua anggota Tim sudah keluar dari mulut gua dan masing-masing larut dalam cerita yang baru saja dialami, sebelum memilih rute berikutnya, apakah kembali (balik) menelusuri lorong gua tadi, ataukah berputar mengelilingi bukit karst. Beberapa orang memilih balik, demikian juga pemandu menyarankan, namun karena yang milih mengelilingi punggung bukit karst lebih banyak, akhirnya semua anggota Tim Patrapala sepakat mencoba naik turun bukit kapur itu. Kayak di Gunung Sindoro ya..... ketika melewati batu-batu terjal dan rumput ilalang. Ketika melihat puncak-puncak bukit karst di sekitar itu, yang lain bilang .... kayak di Gunung Lawu ya!...... pokok nya asyik lah! ha..ha..ha..
Sekitar jam 3 sore, Tim Patrapala telah sampai kembali di mulut Gua Petruk. Langkah kaki menuruni ratusan anak-anak tangga, dinding bukit yang terjal di sisi kanan dan kiri serta pepohonan yang rindang, kadang juga terlihat monyet-monyet bergelantungan; mengantar kami kembali ke Cilacap.
Penampakan?
Sampai di rumah, kamera saya keringkan seharian; alhamdulillah ternyata masih bisa di selamatkan. .... bagus banget lho! ....., hi... jijik.... ketika ia melihat deretan batu-batu berbentuk bulat-bulat, .... hi.. ini kan kayak hantu, ini kan matanya... ini kan mulutnya... hi serem!, itulah beberapa komentar anak saya ketika melihat beberapa foto hasil jepretan saya ... ha...ha...ha!
Tanggal 15-16 Nopember 2008 mendatang, dalam rangka memeriahkan HUT Pertamina dan HUT Patrapala ke I, Tim Patrapala akan mendaki Gunung Sindoro di Wonosobo. Pendakian ini untuk persiapan dan pemanasan sebelum menelusuri puncak Gunung Semeru di Jawa Timur di penghujung tahun ini.
Salam Patrapala
http://www.patrapala.blogspot.com/